Legenda Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar)
Dengan
Legenda
Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar)
4 September 2014 pukul 22:26
Datu Pejel datang dari Limbong menuju Sibisa manandang Hadatuon sembari
menjalankan hobinya "Marultop". Ia sampai ke Sibisa karena
mengejar-ngejar "Anduhur". Menyadari usianya sudah mulai makin tua, Datu
Pejel melakukan semedi, memohon Kepada Mulajadi Na Bolon agar ia diberi
jodoh. Tak lama setelah bersemedi, ia pun mendengar suara "Martonun",
ia pun penasaran lalu pergi melihatnya.
Ia sangat terkejut sudah lama menetap di Sibisa tapi tak pernah ia
melihat orang. Ia pun menyadari bahwa Tuhan telah mengabulkan
permintaannya. Perempuan ini di namai Boru Tantan Debata ("Titisan
Allah") karena Mulajadi Na Bolon lah yg mengirimnya buat Datu Pejel.
Singkat cerita, Boru Tantan Debata melahirkan seorang Putra menyerupai
Kodok. (Bahasa Batak asli Sirasaon). Datu Pejel tak terima anaknya
seperti kodok, ia pun membuangnya ke Bara agar mati dipijak kerbau milik
mereka yg dikandangkan di Bara. Inilah pertengkaran Pertama antara Datu
Pejel dan Boru Tantan Debata. Boru Tantan Debata diam-diam mengambil
anaknya dari Bara dan disembunyikan di Para-para rumah mereka. Setiap
kali pulang dari ladang Boru Tantan Debata heran melihat kayu bakar
mereka yg di jemurnya sebelum berangkat ke ladang selalu tersusun rapi.
Ia pun melakukan pengintaian, siapa gerangan yg melakukan semua itu.
Namun, Boru Tantan Debata terkejut yg melakukan semua itu adalah seorang
bocah yg cukup gagah (anaknya), dan setelah selesai menyusun kayu bakar
ia masuk ke dalam rumah. Boru Tantan Debata pulang ke rumah seperti
biasa, ia melihat anaknya masih tetap "Marruman Sirasaon". Namun dalam
hati Boru Tantan Debata sudah tahu bahwa anaknya cukup tampan. Saat usia
remaja Nairasaon pun di Pertapakan Datu pejel di gunung Simanuk-manuk
(sebelah timur Sibisa, sebelah kiri menuju Porsea dari Parapat).
Sekembalinya dari Partapaon di simanuk-manuk Datu Pejel menyuruh
Nairasaon ke limbong untuk "Mangalap Boru Ni Tulang Na", Nairasaon pun
berangkat ke Limbong.
Namun setelah sampai di Limbong,
Dari Tujuh boru Ni Tulangnya, tak satu pun yg mau menjadi istri
Nairasaon karena wajahnya yg seperti kodok. Suatu sore secara kebetulan
Boru Tulangnya yg paling bungsu melihat Nairasaon pergi Mandi. Ia
terpesona melihat ketampanan wajah Nairasaon. Ia menyadari bahwa wajah
Nairasaon hanya "Rumang" (Topeng). Hari ketiga Nairasaon pamit untuk
pulang. Namun sebelum pulang Tulangnya mengumpulkan ketujuh Borunya dan
menanyakan satu per satu dari Boru Pertama sampai Boru ketujuh. Boru
Pertama sampai Boru ke enam tidak ada yg bersedia, mereka tetap pada
pendirian mereka saat pertama ditanyai orang tuanya. Sang Tulang pun
menanya Boru Siampudan, Boru Siampudan pun menjawab "Naroa pe Paribankki
Naroakku do i, au rade do gabe Parsonduk ni anak ni Namborukki".
Akhirnya Nairasaon pun dinikahkan dengan Boru Siampudan. Mengetahui
Nairasaon cukup tampan, pada saat menjelang pesta pariban Nairasaon yg
enam orang lagi menuntut kepada orang tuanya kenapa mereka "Dilangkahi"
adiknya. Sang Tulang pun menjawab "Hamu do da inang na manjua, Anggim do
mangoloi ba molo i naso jadi be sirangan". Nairasaon kembali ke Sibisa
dan menetap di sana. Tiba pada saatnya Istri Nairasaon melahirkan. Namun
yg dilahirkan berbentuk "Lambutan" (bulat) dan kembar. Mengetahui
cucunya seperti itu Datu Pejel Marah dan membuang cucunya ke Pansur
Napitu.
Boru Tantan Debata marah akan sikap suaminya Datu Pejel. Ia pun
bersumpah tidak akan pernah di kuburkan berdekatan, (Bukti ada sampai
saat ini di Sibisa kuburan Datu Pejel dan Boru Tantan Debata di Antari
lembah kecil), "Ngadua hali di bahen ho haccit rohakku, di bolongkonkko
anak ku dohot pahompukku". Ia pun menghentakkan kakinya, sambil berkata
"Ingkon sirang do tanomankku dohot ho". Esok hari Boru Tantan Debata
pergi ke jurang Pansur Napitu untuk mencari cucunya yg di buang Datu
Pejel. Ia terkejut mendengar suara tangisan bayi cucunya. Kilat pada
malam hari itu diyakininya telah membuka "lambutan" cucunya, karena
tidak tahu siapa yg duluan lahir maka kedua bayi itu di namai Raja
Mardopang (bercabang) yakni Raja Mangatur dan Raja Mangarerak.
Nairasaon terus menjalankan tapanya di Simanuk-manuk. Dan tak pernah
kembali lagi. Dan bagi Pomparan Nairasaon, "Simanuk-manuk di abadikan
dalam Gondang Simanuk-manuk. Sebagai Gondang Pasiarhon dan Gondang
Jujungan angka Nairasaon dan Boruna. Yang sampai saat ini Gondang Ini
sangat populer di setiap pesta Nairasaon Khususnya Sirait.
Simanuk-manuk diabadikan dalam gondang gerak dalam tortor. Sampai saat
ini hanya tinggal beberapa orang yg menguasai itu pun orang-orang yg
memiliki jujungan. Diantara mereka berdua (Raja Mangatur dan Raja
Mangarerak) tidak tahu siapa si Abangan dan si Adek-an sebab lahirnya
pun berdampingan. Pernah dibuat dalam suatu Pesta adat Nairasaon
Manortor si Raja Mangarerak di depan tetapi Ogung tak dapat berbunyi dan
Raja Mangatur didepan juga Ogung tak berbunyi. Dan dibuatnya Raja
Mangarerak di kanan dan Raja Mangatur di kiri barulah bunyi Ogung
kedengaran.
Itulah sebabnya sering disebut Raja Mangarerak Mangatur untuk si Raja
Mangarerak dan Raja Mangatur Mangarerak untuk si Raja Mangatur.
Raja Mangarerak / Br. Hutahot mempunyai 1 anak yaitu Raja Toga Manurung
dan 1 Putri Br. Similingiling.
Raja Mangatur / Br. Harugasan Sagala dan punya anak 3 orang,
1. Raja Sitorus, 2. Raja Sirait, 3. Raja ButarButa.
Ref
:
https://www.facebook.com/notes/jeffrey-juventino-butarbutar/legenda-nairasaon-manurung-sitorus-sirait-butar-butar/600336766742294/